Kolom DPS: Media Dakwah dan Kajian Fikih Muamalat

Gharar: Konsep, Kriteria, dan Cara Menghindarinya
Artikel ditulis oleh Rahman Helmi (Dewan Pengawas Syariah PT. BPRS Barkah Gemadana)
Sebagai seorang Muslim, penting untuk memahami transaksi yang sesuai prinsip syariah karena memiliki implikasi yang signifikan dalam kehidupan ekonomi dan transaksi sehari-hari untuk mendapatkan keberkahan dan ridha Allah. Salah satu dari prinsip dasar dalam transaksi dalam Islam adalah menghindari gharar. Karena melalui hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah melarang tindakan jual beli gharar:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Dari Abu Hurairah, dia berkata: “Rasulullah melarang jual beli al-hashah (lempar kerikil) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim)
Kata gharar berasal dari bahasa Arab, yang berarti ketidakpastian, bahaya, atau risiko. Kamus Almaany menggambarkannya sebagai “menjual sesuatu yang penyerahannya tidak dapat dipercaya” – seperti menjual ikan yang masih di laut atau menjual burung di udara. Demikian pula, seorang penulis Muhammad Ayub (2007) mengatakan bahwa “dalam terminologi para ahli hukum, gharar adalah penjualan sesuatu yang tidak ada di tangannya, atau penjualan sesuatu yang tidak diketahui akibatnya, atau penjualan yang mempunyai risiko yang tidak diketahuinya apakah akan terjadi atau tidak.” Menurut Adiwarman Karim (2004), gharar adalah ketidakpastian yang melibatkan kedua belah pihak (uncertain to both parties). Ketidakpastian ini sesungguhnya diakibatkan oleh adanya ketidaklengkapan informasi (incomplete information). Dalam sebuah transaksi diharuskan ada kepastian. Jika terjadi perubahan sesuatu yang seharusnya bersifat pasti (certain) menjadi tidak pasti (uncertain) maka di sinilah muncul gharar.
Konsep gharar tidak terbatas hanya pada transaksi jual beli, tetapi dapat terjadi dalam berbagai jenis transaksi. Gharar dalam pengertian risiko, sesungguhnya selalu ada dalam setiap kontrak bisnis dan tingkatan gharar juga dapat berbeda-beda. Oleh karena itu, para ulama telah memilah berbagai aspek gharar untuk menentukan apakah suatu transaksi yang mengandung gharar sesuai prinsip syariah atau tidak. Para ulama secara umum membagi gharar kepada dua macam, yakni: 1) gharar berat atau berlebih (al-gharar al-zaid) yang dilarang sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas, dan 2) gharar ringan (al-gharar al-khafif), yakni gharar dalam jumlah yang kecil atau sepele yang dapat ditoleransi. Berdasarkan pembagian ini, tidak setiap kontrak bisnis yang ada unsur gharar dilarang, namun juga ada gharar yang dibolehkan.
Suatu transaksi bisnis disebut mengandung gharar berat jika terdapat ketidakpastian berlebihan yang dapat merusak unsur utama akad, yakni: subjek, objek dan karakteristik akad yang menjadi pembeda dengan akad lainnya. Pertama, gharar pada subjek transaksi, misalnya ketidakpastian pemilik barang karena kondisi barang belum dimiliki secara penuh. Contoh seorang individu ingin membeli sebuah rumah. Namun, pemilik rumah tersebut tidak memberikan informasi yang jelas tentang status kepemilikan rumah tersebut. Pembeli tidak mengetahui apakah pemilik memiliki hak yang sah untuk menjual rumah tersebut, apakah rumah tersebut memiliki utang atau beban hukum lainnya yang mungkin mempengaruhi transaksi, atau apakah ada pihak lain yang memiliki klaim sah terhadap rumah tersebut. Kedua, gharar pada objek transaksi, yakni terkait dengan kuantitas atau kualitas (spesifikasi) yang mengandung ketidakjelasan yang berlebihan. Misalnya jika penjual tidak memberikan informasi yang jelas tentang objek yang ditransaksikan terkait kuantitas atau kualitas barang yang dijual, pembeli akan menghadapi ketidakpastian mengenai produk yang akan diterima. Hal ini dapat menyebabkan pembeli merasa tidak puas dengan produk yang tidak sesuai harapan. Contoh lain yang termasuk dalam kategori ini adalah jual-beli barang yang belum ada dan jual-beli barang yang tidak dapat diserahterimakan. Ketiga, gharar pada karakteristik akad yang menjadi pembeda dengan akad lainnya, seperti: ketidakpastian harga dan penyerahan barang dalam jual-beli, ketidakjelasan mengenai kondisi properti sebagai objek sewa dalam bisnis sewa-menyewa, atau ketidakpastian dalam pembagian laba dan risiko pada bisnis bagi hasil.
Selanjutnya, gharar yang dibolehkan jika terdapat dalam sebuah transaksi dapat diketahui pada empat hal. Pertama, termasuk kategori gharar kecil yang disebutkan di atas. Gharar kecil merupakan gharar yang bukan terjadi pada unsur utama sebuah akad, melainkan terjadi pada pelengkap saja. Gharar kecil ini biasanya tidak bisa dihindari dalam setiap transaksi dan dimaklumi menurut tradisi bisnis sehingga pelaku bisnis tidak dirugikan. Contohnya membeli rumah tanpa melihat pondasinya, menyewakan rumah selama satu bulan, walaupun jumlah hari satu bulan berbeda-beda. Kedua, gharar pada transaksi bersifat sosial (tabarru’), sehingga pihak lain dalam kontrak tidak dieksploitasi, seperti gharar dalam sedekah, hadiah atau warisan. Ketiga, adanya kebutuhan (hajat) syar’i pada akad. Hajat di sini adalah konsidi setiap orang diperkirakan mendapat kesulitan jika tidak melakukan transaksi gharar tersebut, baik kebutuhan umum ataupun khusus sementara pada saat yang sama tidak ada pilihan akad yang halal kecuali akad yang mengandung gharar tersebut. Sebagai contoh jika seseorang membutuhkan obat-obatan yang diperlukan untuk menyembuhkan penyakit yang mengancam nyawa, dan informasi yang diperlukan tentang obat tersebut tidak tersedia secara lengkap, maka pembelian obat tersebut masih dianggap sah meskipun terdapat gharar. Keempat, risiko denda melekat yang terjadi ketika ada kemungkinan denda atau sanksi yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran atau ketidakpatuhan terhadap kontrak. Contohnya denda karena pelanggaran lingkungan, atau ketidakpatuhan terhadap standar keselamatan.
Lalu bagaimana kita bertransaksi agar dapat terhindar dari gharar (yang berat)? Dalam menjalankan transaksi, penting bagi para pihak untuk memastikan bahwa ketidakpastian atau ketidakjelasan yang mungkin timbul telah diatasi atau diminimalkan sebisa mungkin, baik dari aspek subjek dan objek transaksi maupun dari aspek karakteristik akad yang menjadi pembeda dengan akad lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan mendapatkan informasi yang cukup, menyepakati syarat-syarat dengan jelas, dan memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Sampaikan informasi tentang produk atau layanan secara jelas dan akurat kepada konsumen. Pastikan deskripsi barang atau jasa sesuai dengan kenyataan dan tidak menyesatkan. Jika kita menjual sebuah produk, pastikan bahwa barang yang dikirim sesuai dengan deskripsi yang telah diberikan kepada konsumen. Cek kembali keadaan barang atau untuk produk elektronik lakukan uji terlebih dahulu sebelum pengiriman. Berikan jaminan garansi barang diganti baru atau uang dikembalikan dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Ingatlah bahwa menghindari gharar adalah bagian dari prinsip keadilan dan transparansi dalam bisnis syariah.
Alhasil, mengetahui konsep gharar dalam Islam bukan hanya membawa manfaat praktis dalam kehidupan ekonomi yakni terhindar dari potensi mengalami kerugian dan ketidakadilan dalam transaksi, tetapi juga membawa manfaat spiritual yang mendalam dengan memperkuat ketaatan terhadap ajaran agama dan nilai-nilai moral Islam. Wallahu a’lam.
Sumber Foto : Freepik